
Terorisme menjadi salah satu kejahatan yang mendapat perhatian dunia karena dampak yang ditimbulkan begitu besar, didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang memiliki motif dan kemampuan untuk menyebabkan kerusakan, hingga pembunuhan.
Terorisme berbeda dari tindakan kriminal biasa karena tujuannya adalah untuk menciptakan ketakutan dan biasanya dilakukan dengan terencana. Evolusi terorisme dibagi menjadi empat gelombang utama, salah satunya gelombang keempat dimulai pada akhir 1970-an, ditandai oleh munculnya terorisme berbasis agama, terutama yang dipengaruhi oleh ideologi Islam.
Terorisme berbasis agama menyebar ke berbagai belahan dunia. Serangan yang dilakukan menargetkan warga sipil, institusi pemerintah, dan simbol-simbol Barat seperti kasus World Trade Center di New York City oleh Al-Qaedah, teror di salah satu kota di Mumbai India dan penembakan di kawasan Masjid di Christchurch Selandia Baru.
Di Indonesia, kasus besar aksi teror dapat dilihat dari peristiwa Bom Bali 1 pada 12 Oktober 2002. Aksi teror Bom Bali I dimulai dengan perencanaan yang matang oleh kelompok teroris Jemaah Islamiyah (JI), 2 bom mobil diledakkan di kawasan Kuta, di depan dua klub malam, Paddy’s Pub dan Sari Club. Aksi teror tersebut bagian dari agenda untuk menyebarkan ketakutan dan kekacauan.
Serangan teror menimbulkan dampak yang begitu besar sehingga harus direspons dengan tepat, gangguan yang ditimbulkan dapat menjadi besar bila tidak ditangani dengan baik. Maka Nurhidayat (Direktorat Kontra Terorisme Badan Intelijen Negara dan Doktor Kriminologi UI) meneliti “Respon Darurat Terhadap Serangan Teror (Emergency Response To Terror Attacks): Tinjauan Tentang Kapasitas & Model Idealnya Bagi Indonesia”.
Nurhidayat menjelaskan bahwa Indonesia perlu memperhatikan komponen prior intelligence, at attack, dan aftermath pada pengerahan kapasitas negara untuk merespons serangan teror.
Prior intelligence merupakan elemen krusial dalam sistem pertahanan terhadap serangan teror. prior intelligence tidak hanya menggambarkan potensi ancaman, tetapi juga siapa aktor yang terlibat, lokasi kejadian, serta rincian teknis seperti bentuk bangunan dan struktur TKP.
Ia menekankan pentingnya koordinasi informasi oleh Pusdalsis BNPT dan perlunya umpan balik dalam sistem intelijen agar data tidak berhenti pada laporan awal saja, tetapi terus diolah dan digunakan dalam pengambilan keputusan pasca serangan.
Menurut Nurhidayat, langkah pertama setelah serangan adalah menganalisis dampaknya terhadap sektor-sektor vital seperti ekonomi, pendidikan, dan sosial. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa intelijen harus mampu memetakan potensi serangan lanjutan, siapa aktornya dan keterkaitannya dengan media sosial.
Ia mengingatkan pentingnya menilai risiko konflik sosial yang mungkin timbul pasca serangan, seperti diskriminasi terhadap kelompok tertentu.
Setelah itu, Aftermath atau fase pasca-serangan merupakan saat kritis di mana negara harus segera mengerahkan seluruh kapasitasnya untuk mengendalikan chaos. Ia menekankan bahwa penanganan aftermath harus dilakukan dengan pendekatan multi-level yang mencakup aspek lokal hingga nasional. “Penanganan cepat yang terkoordinasi melibatkan sektor kesehatan, keamanan, komunikasi, logistik, dan psikososial,” ujarnya.

“Keberhasilan fase aftermath sangat ditentukan oleh kesiapan sistem darurat yang komprehensif. Ini meliputi pelatihan rutin, penyediaan command center yang mobile, keterlibatan masyarakat sipil, serta peta peran lintas sektor yang telah disimulasikan sebelumnya. Tanpa kesiapan ini, chaos yang terjadi bisa menjadi krisis sosial-politik yang berkepanjangan,” jelas Nurhidayat.
Selain itu, aspek psikologis pasca-serangan juga menjadi sorotan utama. Ketakutan masyarakat (fear of crime) dapat berlanjut menjadi stigma sosial, Nurhidayat memberikan contoh yang terjadi pasca Bom Bali, muncul rasa takut terhadap kelompok Muslim, meskipun mereka tidak terlibat. “Hal ini memperkuat argumen bahwa respons pasca serangan tidak hanya fisik, tetapi juga sosial-psikologis, termasuk penanganan trauma, edukasi, dan upaya rekonsiliasi,” ungkap Nurhidayat.
Kapasitas Indonesia dalam mewujudkan model ideal Emergency Response To Terror Attacks (ERTA) yang menjadi kebijakan, sebagai bentuk kesiapsiagaan negara, dan Nurhidayat juga berhasil menciptakan model ideal ERTA di Indonesia, yang dapat dijadikan dasar kebijakan, sebagai upaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan negara dalam menghadapi terorisme.
Nurhidayat telah menyelesaikan pendidikan doktoral nya di Departemen Kriminologi FISIP UI setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Respon Darurat Terhadap Serangan Teror (Emergency Response To Terror Attacks): Tinjauan Tentang Kapasitas & Model Idealnya Bagi Indonesia”, di hadapan para dewan penguji, pada Kamis (19/06) di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI, Depok. Nurhidayat berhasil menyelesaikan studi doktoralnya dengan predikat Cumlaude. dibawah bimbingan Prof. Drs. Adrianus Eliasta Meliala, M.Si., M.Sc, Ph.D.