Secara geografis, Kutub Selatan (Antartika) dan Kutub Utara (Artika) berjarak cukup jauh dengan Indonesia yang terletak di wilayah tropis. Namun, seiring dengan pemanasan global, masa depan kita terhubung sangat erat dengan kawasan dingin tersebut. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) mengadakan seminar “Masa Depan Antartika, Indonesia, dan Politik Dunia” pada Kamis (07/08) secara hybrid.
Sebagai narasumber, Gerry Utama (Peneliti Arctic Antarctic Research Institute, Russian Federation) dan Shofwan Al Banna Choiruzzad (Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UI).
Antartika adalah kawasan yang jarang mendapat sorotan publik, namun memiliki potensi dan kerentanan yang besar. Memahami nilai strategisnya berarti membuka peluang untuk kolaborasi internasional, penelitian ilmiah, dan perumusan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan.
Menurut Gerry, Indonesia dengan posisi strategis, dapat menjadi pemain kunci terhadap Antartika, sebagian besar negara-negara maju memiliki kapal pemecah es dan Indonesia dapat menjadi tempat transit terkait pengisian logistik, baik via laut maupun udara. Indonesia dapat menjadi hub-ASEAN.
Kondisi tersebut dapat menjadikan Indonesia pemain kunci terkait isu Antartika di kawasan ASEAN dengan membangun hub konektivitas Antartika yang tidak hanya memberikan kontribusi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi namun juga adanya peningkatan ekonomi dengan adanya aktivitas kegiatan tersebut.
“Riset Antartika berpotensi memberikan kesempatan hilirisasi pengembangan teknologi tingkat tinggi. Secara kapasitas SDM Indonesia memiliki kemampuan yang mumpuni dalam melakukan riset Antartika, terbukti melalui Join Expedition yang tercatat sudah 3 kali dilakukan pada tahun 2002, 2016 dan 2024, pengalaman tersebut menjadi sangat penting dalam upaya Indonesia membangun kemandirian riset di bidang Antartika,” ujar Gerry.
Lebih lanjut ia menjelaskan jika Indonesia berpartisipasi di Indonesia maka melalui ratifikasi perjanjian Antartika, perjanjian kerjasama internasional goverment to goverment, dan penguatan fokus riset Antartika.
Sementara itu, Gerry mengusulkan roadmap pembentukan Badan Eksplorasi Antartika Indonesia (BEAI). Dimulai tahun 2025 dengan pembentukan BEAI, pemetaan kebutuhan riset, memulai Indonesia Antarctic Expedition (IAE), sampai tahun 2029 dengan mengembangkan modul stasiun riset Antartika.

“Urgensi tersebut berangkat dari posisi Indonesia yang strategis dengan kedekatan jarak yang hanya sekitar 5.600 km dari Stasiun Mirny milik Rusia di Antartika. Hal ini memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi isu-isu global seperti perubahan iklim dan potensi tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia,” ujarnya.
Di sisi lain Shofwan mengatakan bahwa posisi geografis Indonesia memberi peluang unik dalam geopolitik global, “seperti Indonesia dapat menawarkan jalur aman bagi negara-negara yang terisolasi oleh blok politik tertentu, menjadi inisiator koalisi netral, serta dapat memposisikan diri sebagai pusat penelitian dan pertemuan internasional terkait Antarktika dapat meningkatkan daya tawar Indonesia dalam forum global.”
Namun, Shofwan menekankan bahwa peran ini harus dijalankan dengan hati-hati agar Indonesia tidak terjebak menjadi instrumen salah satu kekuatan besar. Keseimbangan diplomasi antara blok Barat dan negara-negara seperti Rusia atau Tiongkok menjadi kunci.

“Jika eksplorasi sumber daya di Antarktika berlangsung tanpa regulasi ketat, dampak lingkungan bersifat global. Indonesia berisiko hanya menerima efek negatif seperti kerusakan ekosistem laut dan perubahan iklim yang lebih cepat tanpa memperoleh manfaat ekonomi langsung. Oleh karena itu, strategi yang mengutamakan keberlanjutan, diplomasi multilateral, dan perlindungan lingkungan menjadi penting,” jelas Shofwan,
Lebih lanjut ia mengatakan, Antartika adalah kawasan di mana isu lingkungan global dan geopolitik saling bertemu. Perubahan di cryosphere memengaruhi kehidupan di negara tropis seperti Indonesia, sementara dinamika politik di kawasan tersebut dapat membuka peluang maupun ancaman strategis.
Sebagai penutup Shofwan mengatakan, “dengan memanfaatkan posisi geografis dan kapasitas diplomatiknya, Indonesia berpotensi menjadi aktor kunci dalam menjaga keberlanjutan dan kestabilan Antarktika, sekaligus melindungi kepentingan nasionalnya di tengah persaingan global yang semakin kompleks.”







