Memanasnya konflik yang terjadi antara Israel, Iran, dan Amerika Serikat memberikan pengaruh secara global hingga level nasional serta dapat mempengaruhi stabilitas keamanan, politik, ekonomi, hingga rantai pasokan. Oleh sebab itu, penting bagi Indonesia untuk memberikan strategi respons yang sesuai dengan arah dan diplomasi Indonesia.
Berangkat dari topik hangat dan krusial ini, Center for International Relations Studies (CIReS), Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik (LPPSP), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) pada Kamis (3/7) menyelenggarakan Diskusi Publik secara daring melalui Zoom.
Dengan mengusung topik “Perkembangan Konflik Israel-AS-Iran: Implikasi Global dan Respons Indonesia”, para narasumber mengkaji dari berbagai perspektif untuk melihat kompleksitas konflik yang semakin memuncak. Acara ini dihadiri oleh peserta dari berbagai latar belakang baik akademisi, kementerian dan lembaga, media, hingga lembaga internasional.
“Konflik Israel-AS-Iran merupakan tragedi kemanusiaan yang menuntut respon tegas. Melalui diskusi publik ini, diharapkan muncul wacana baru yang mengajak kita untuk memahami narasi konflik dari berbagai perspektif, termasuk sudut pandang media,” ujar Asra Virgianita, Ph.D (Wakil Direktur CIReS LPPSP FISIP UI) dalam kata sambutannya.
Diskusi dimulai dengan pemaparan dari masing-masing narasumber dan dipandu oleh Agung Nurwijoyo, M.Sc. sebagai moderator. Narasumber pertama, Dra. Suzie Sri Suparin S. Sudarman, MA (Dosen bidang Kebijakan Luar Negeri AS, Departemen Hubungan Internasional UI sekaligus Co-Founder INADIS) menyoroti bahwa kebijakan AS sejak lama bertujuan mengamankan akses energi demi mempertahankan hegemoni, sekaligus membatasi akses negara lain.
Iran dianggap musuh utama karena keberaniannya melawan Israel, hingga AS melakukan intervensi lewat serangan ke situs nuklir. Ia menyebut pendekatan AS sebagai bentuk imperialisme baru dan mengingatkan, “Saya khawatir Indonesia bisa menjadi seperti Irak jika terus menjunjung tinggi AS tanpa kritis,” tegas Suzie.
Dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran sekaligus Pengamat Timur Tengah, Dr. Dina Sulaeman, mengkaji pembahasan dari sudut pandang Iran. “Bagi rakyat Iran, syahid adalah kehormatan yang justru membangkitkan semangat juang,” jelasnya.
Dina menjelaskan bahwa setelah serangan 13 Juni yang menewaskan tokoh militer utama, Iran tidak menyembunyikan korban, melainkan mempublikasikannya untuk memobilisasi dukungan rakyat. Menurutnya, meski secara taktis Israel unggul, secara strategis Iran bangkit cepat karena kekuatannya berakar pada peradaban yang tahan banting.
Sementara itu, Broto Wardoyo, Ph.D (Ketua Departemen Hubungan Internasional UI), menegaskan bahwa dalam setiap perang, kemanusiaanlah yang paling dirugikan. “Israel boleh mengklaim menang, begitu pula AS dan Iran, tapi pada dasarnya, kemanusiaan itu yang kalah,” ujarnya.
Broto juga mengkritik penggunaan kekerasan atas nama justifikasi seperti pre-emptive strike, serta menyoroti konflik di Timur Tengah sebagai dampak intervensi kekuatan global tanpa memperhatikan konteks lokal.
Kris Mada (Editor International Desk Harian Kompas) menitikberatkan pada perspektif media untuk mengkaji konflik Israel-AS-Iran. Menurut Mada, minimnya pemberitaan kerusakan di Israel disebabkan larangan pemerintah terhadap media, sementara Iran lebih terbuka.
Mada menekankan pentingnya verifikasi dalam jurnalisme dan menjaga pelaporan yang seimbang untuk menghindari narasi yang bias. Ia juga menyebut bahwa media seperti Kompas mendorong perdamaian dan menolak agresi. “Ke depan, makin banyak negara merasa tanpa nuklir mereka akan lemah,” sebutnya.
Sebagai penutup, Direktur CIReS LPPSP FISIP UI, Prof. Fredy B.L. Tobing, memaparkan bahwa konflik ini memiliki dampak global karena Timur Tengah adalah pusat energi dunia. “Indonesia memang tidak bisa terlibat secara militer, tapi diplomasi adalah soft power yang berdaya guna,” ujarnya.
Ia mendorong peran aktif Indonesia melalui ASEAN dan pendekatan langsung ke negara-negara Timur Tengah, termasuk melalui mekanisme kerja saama selatan-selatan, untuk mendukung penyelesaian damai dan konsistensi dalam memperjuangkan isu Palestina.
Diskusi publik ini menyoroti bahwa konflik Israel-AS-Iran bukan hanya persoalan kekuatan militer semata, melainkan juga menyangkut nilai-nilai kemanusiaan, stabilitas ekonomi global, dan dinamika geopolitik yang kompleks.
Diskusi ini juga menggambarkan pentingnya posisi strategis Indonesia untuk menyikapi konflik melalui jalur diplomatik, membangun solidaritas kawasan, serta mendorong penyelesaian damai berdasarkan prinsip hukum internasional. Melalui forum ini, diharapkan muncul kesadaran kolektif akan peran aktif yang dapat dimainkan oleh Indonesia dan komunitas global dalam merespons krisis secara adil, manusiawi, dan berkelanjutan.