Jumat (12/10), PUSKAPA kembali menyelenggarakan Seri Pembelajaran Bulanan (Monthly Learning Series) “Mencegah kekerasan pada Anak”. Diskusi kali ini mengangkat topik mengenai pengaruh teknologi terhadap anak dan peluang serta ancamannya. Kehadiran tiga pembicara dari akademisi, NGO, dan pemerintah memberikan sudut pandang yang semakin kaya untuk mengurai persoalan dalam isu ini.
Roy Huijsmans, pakar dalam bidang Kajian Anak dan Remaja dari Erasmus University memberikan paparan mengenai penggunaan telepon genggam oleh anak-anak dan remaja. Ia memaparkan hasil penelitiannya di Laos dan Vietnam yang menunjukkan tingginya tingkat penggunaan telepon genggam oleh anak-anak, bahkan di daerah pinggiran kota sekalipun. Diperoleh data bahwa di Vietnam anak-anak menjadi pemilik telepon genggam pertama di keluarganya. Melalui studi terhadap satu penyedia jasa jaringan (network provider) di Vietnam, Roy juga memperoleh fakta bahwa anak-anak dan remaja menjadi satu segmen pasar yang sedang gencar-gencarnya disasar oleh perusahaan-perusahaan penyedia jasa jaringan maupun teknologi. Hal tersebut sejalan dengan temuan penelitian yang menunjukkan bahwa iklan (advertisement) telepon genggam menjadi satu faktor paling kuat yang mempengaruhi peningkatan penggunaan telepon genggam oleh anak-anak dan remaja.
Pembicara kedua, Aris Kurniawan, Kasubdit Literasi Digital Direktorat Pemberdayaan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), menjelaskan peran negara dalam literasi media untuk anak-anak dan remaja. Aris membagi upaya pemerintah dalam literasi media ini ke dalam dua pendekatan, yakni hulu dan hilir. Penanganan di hulu berfokus pada cara-cara yang dilakukan untuk mendorong anak-anak & remaja sebagai pengguna sosial memproduksi dan membagi konten positif. Salah satu upayanya yakni melalui platform Siberkreasi; sebuah gerakan nasional untuk menyosialisasikan literasi digital ke berbagai sektor, terutama pendidikan. Bentuk programnya antara lain terjun langsung ke berbagai sekolah dan produksi e-book literasi media untuk diunduh secara gratis pada situsnya, literasidigital.id. Sementara, untuk penanganan hilir, upaya pemerintah dilakukan melalui Siber Drone 9, polisi internet milik Kominfo yang mempunyai hak untuk menghapus secara langsung konten-konten negatif yang diadukan, khususnya untuk konten pornografi dan kekerasan. Aduan dapat dilayangkan melalui situs aduankonten.id.
“Ya memang kami memberi karpet merah untuk konten pornografi dan kekerasan. Jadi ketika ada aduan masuk langsung kami take down. “ terang Aris.
“sasaran perlindungan dari pemblokiran ini ya anak-anak. Mungkin kalau orang dewasa bisa mengakali lewat VPN, tapi anak-anak kan enggak. Melalui ini kami bisa memberikan perlindungan” lanjutnya.
Satu suara dengan Aris, Donny B.U dari ICT Watch Indonesia sebagai pembicara ketiga juga menekankan bahwa upaya literasi digital hulu dan hilir ini dapat berhasil dengan bantuan kolaborasi multi-stakeholder, pengembangan kurikulum, dan pemberdayaan komunitas. Ia menambahkan, yang harus diperhatikan dari program-program pemerintah tersebut adalah keberlanjutannya, mengingat banyak program pemerintah yang hanya bertahan selama dua atau tiga tahun saja.
Dari diskusi yang mengalir, ketiga pembicara setuju bahwa fokus literasi digital tidak tertuju hanya pada resiko (risk) yang terdapat dari penggunaan telepon genggam dan internet saja, namun lebih mengembangkan upaya untuk menggunakan kesempatan (opportunity) yang ada di dalamnya. Dalam pandangan optimis, kedepannya literasi digital diharapkan lebih mampu mendorong anak-anak untuk produktif dalam membuat konten-konten positif yang bisa membantu proses perkembangan diri mereka.