Ketangguhan Keluarga Migran Pelaju di Era Digital

Pada abad ke-21, Indonesia semakin terintegrasi dalam ekonomi global kapitalistik, terutama sejak dekade ketiga. Urbanisasi melonjak dan juga memunculkan gig ekonomi dan kerja fleksibel yang menawarkan keleluasaan namun membawa ketidakpastian pendapatan dan minimnya perlindungan sosial. Perubahan ini merambah pedesaan, mendorong migrasi sebagai strategi adaptasi ekonomi.

Migrasi desa-kota, didorong keinginan meningkatkan kesejahteraan keluarga, sering menciptakan pola keluarga migran pelaju atau Living Apart Together (LAT). Salah satu anggota keluarga, biasanya orang tua, bekerja jauh sebagai commuting parent, sementara pasangan mengelola rumah tangga. Pola ini menuntut ketangguhan emosional, didukung teknologi komunikasi dan komunitas sebagai pelindung dari risiko psikososial.

Pergeseran pola sosial antardaerah mengubah struktur ekonomi dan menuntut pemahaman baru tentang ketangguhan keluarga. Rita Pranawati, meneliti “Ketangguhan Keluarga Migran Pelaju Di Era Digital: Perspektif Perempuan” sebagai disertasinya. Ia secara resmi mendapatkan gelar Doktor Sosiologi setelah melalui promosi doktor pada Rabu (02/07) di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI, Depok.

Menurut Rita, penelitian ini secara mendalam membahas mengenai ketangguhan keluarga migran pelaju di era digital yang tidak sekadar bentuk adaptasi individual terhadap keterpisahan fisik, melainkan merupakan konstruksi sosial yang terbentuk dari interaksi kompleks antara ketimpangan struktural, transformasi peran gender, dan dinamika tiga elemen ketangguhan (risk factor, protective factor, dan good outcome).

Rita menjelaskan bahwa keluarga migran pelaju menghadapi beragam potensi dan tekanan sebagai risk factor, baik dari luar maupun dalam. Secara eksternal, tekanan sosial seperti komentar negatif dan stereotip terhadap rumah tangga LDR. Secara internal, dukungan pasangan menjadi fondasi penting.

“Kekuatan internal keluarga, seperti dukungan emosional dan komunikasi yang intensif, dapat menjadi fondasi penting ketangguhan untuk mengatasi risk factor. Selain itu, komitmen pasangan dapat memperkuat stabilitas emosional di tengah jarak,” tegas Rita.

Keluarga pelaju juga memiliki berbagai protective factors. Faktor eksternal seperti layanan sosial, menjadi penting dari dukungan institusional dalam menjaga stabilitas keluarga. Faktor lingkungan dan nilai-nilai internal tetap menjadi penyangga penting dalam menghadapi tekanan akibat hubungan jarak jauh.

Dalam survei terhadap good outcome, Rita menunjukkan bahwa kekuatan utama terletak pada hubungan positif, perasaan aman, serta keselarasan dengan lingkungan. Hal tersebut mencerminkan keberhasilan keluarga dalam membangun ikatan emosional yang kokoh di tengah keterbatasan interaksi fisik.

Namun, Rita menjelaskan kelemahan yang mencolok terlihat pada aspek kerjasama, yang mengindikasikan masih lemahnya kemandirian dan kemampuan menyelesaikan masalah bersama dalam keluarga. Rendahnya kerjasama ini dapat disebabkan oleh absennya figur ayah atau ibu dalam pengasuhan harian.

“Untuk mencapai ketangguhan penuh, diperlukan intervensi yang mendukung penguatan kerja sama, komunikasi, dan pengembangan kemandirian anak agar keluarga tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang secara berkelanjutan dalam menghadapi tantangan jarak dan tekanan sosial-ekonomi,” jelas Rita.

Rita menekankan, “ketangguhan keluarga pelaju tidak hanya ditentukan oleh seberapa sering mereka berkomunikasi, tetapi juga oleh kualitas komunikasi, kemampuan membaca emosi, dan kesediaan untuk menyelesaikan masalah secara kolaboratif, termasuk melalui kekuatan nilai-nilai religius yang diyakini bersama.”

Dari perspektif perempuan, baik sebagai pelaju maupun yang ditinggal, menghadapi beban berlipat, menjalankan peran ganda sebagai pencari nafkah dan pengelola rumah tangga. Namun, adaptasi melalui pergeseran peran yang lebih setara menunjukkan negosiasi aktif dalam keluarga, suami turut mengambil tanggung jawab domestik.

“Strategi bertahan terbentuk di berbagai level: komunikasi dan pembagian peran di tingkat mikro, dukungan keluarga besar dan komunitas di level meso, akses kebijakan kerja di level ekso, serta nilai spiritual dan narasi kesetaraan gender di level makro. Ketangguhan ini bukan kondisi statis, melainkan proses dinamis yang dibangun melalui relasi suportif, struktur sosial, dan makna kolektif,” ujar Rita.

“Saran yang bisa saya berikan dari hasil penelitian ini adalah komunitas lokal dapat menciptakan ruang inklusif melalui diskusi bersama, edukasi tentang dinamika keluarga pelaju, serta akses ke layanan seperti daycare dan pelatihan rumah tangga. Pemerintah pun perlu memperluas kebijakan ramah keluarga, menyediakan layanan konseling, serta mendorong program literasi digital dan cuti keluarga inklusif,” jelas Rita.

Related Posts

Hubungi Kami

Kampus UI Depok
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Jl. Prof. Dr. Selo Soemardjan, Depok, Jawa Barat 16424 Indonesia
E-mail: fisip@ui.ac.id
Tel.: (+62-21) 7270 006
Fax.: (+62-21) 7872 820
Kampus UI Salemba
Gedung IASTH Lt. 6, Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya 4, Jakarta 10430 Indonesia

E-mail: fisip@ui.ac.id
Tel.: (+62-21) 315 6941, 390 4722

Waktu Layanan

Administrasi dan Fasilitas
Hari : Senin- Jumat
Waktu : 08:30 - 16:00 WIB (UTC+7)
Istirahat : 12.00 - 13.00 WIB (UTC+7)

Catatan:
*) Layanan tutup pada hari libur nasional, cuti bersama, atau bila terdapat kegiatan internal.