Persoalan seputar gender memang tidak ada habisnya untuk dikaji. Apalagi di Indonesia, banyak sekali faktor struktural ataupun kultural yang tidak menguntungkan bagi perempuan. Hal-hal inilah yang coba diulas secara mendalam oleh Francisia SSE Seda, Sosiolog sekaligus Dosen Sosiologi FISIP UI, dalam bukunya yang berjudul Perempuan: Perspektif Sosiologi Gender. Melalui buku ini, Francisia berusaha mematahkan anggapan bahwa kajian sosiologi gender telah kehilangan relevansinya dalam kajian akademik karena dinilai lebih bersifat perjuangan atau ideologis. Ia berpendapat bahwa ranah kajian gender memiliki pemikiran yang membantu kajian akademik.
“Kalau tidak ada aktivis perempuan, tidak ada kajian akademik”, ungkap Francisia pada acara peluncuran bukunya tersebut, Jumat (22/12).
Bersama Mia Siscawati, Ph.D (Antropolog & Ahli Kajian Gender), dan Dr. Ani Soetjipto (Ahli Hubungan Internasional, Gender & Aktivis HAM) yang hadir sebagai pembahas, Francisia mengulas kerangka besar isi bukunya yang mengangkat topik representasi perempuan dalam kancah perpolitikan. Ia menilai bahwa representasi tersebut belum cukup menggambarkan Indonesia sebagai masyarakat berkeadilan gender. Polemik relasi gender, pembatasan peran karena adanya konstruksi ibuisme negara, ketimpangan perempuan dalam pendidikan, serta strategi pengarusutamaan gender dalam pemilu merupakan beberapa poin bahasan dalam buku yang menegaskan bahwa ketidakadilan gender tidak terlepas dari adanya faktor kultural dan struktural. Mia, mencoba menyoroti faktor kultural dengan berbicara mengenai perkawinan anak dan tradisi perjodohan di beberapa adat. Sementara, Ani mempertanyakan kembali makna representasi perempuan dalam politik.
“Apakah peningkatan representasi perempuan secara kuantitas sejalan dengan representasi secara substansi? Seperti apa yang dibutuhkan? Perempuan yang badannya saja, atau perempuan dengan kriteria-kriteria tertentu, tidak bisa asal perempuan?”, tanya Ani.
Sepakat dengan Ani, Mia juga berpendapat bahwa women interest dan gender interest dalam representasi politik tidak linier.
“Kita boleh punya presiden perempuan, kita boleh punya 9 menteri perempuan, tetapi sampai hari ini kita masih punya saudara-saudara perempuan yang berjuang melepaskan diri dari gangguan, ancaman perkawinan anak”,ujar Mia.
Dari diskusi yang berlangsung, diketahui bahwa gender interest tidak terakomodasi dalam visi dan arah pembangunan jangka panjang periode 2005-2025. Sehingga, adanya representasi perempuan dalam politik yang memiliki perspektif gender merupakan sebuah harapan agar bisa ikut merumuskan kebijakan yang lebih mengakomodasi kepentingan gender dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) berikutnya.