Koentjaraningrat Memorial Lectures merupakan tradisi tahunan yang diselenggarakan Forum Kajian Antropologi Indonesia (FKAI) sejak tahun 2004. Penyelenggaraan Koentjaraningrat Memorial Lectures dilakukan di Pusat Studi Jepang (15/10). Dalam acara tersebut Dekan FISIP UI Dr.Arie Setiabudi Soesilo, M.Sc memberikan sambutan, disamping itu hadir Dekan FIB UI Dr. Adrianus L.G. Waworuntu, M.A. Prof. Dr Laurentius Dyson (Keynote Speech), Prof. Dr. Meutia F. Swasono M.S ( Guru Besar Dep. Antropologi FISIP UI). Para pembicara dari kegiatan ini antara lain Ignatius Praptoharjo, Ph.D, Dewi Candraningrum Ph.D, Hilmar Farid, Ph.D, Sari Damar Ratri, M.Sc.
Narkoba dan sekusualitas adalah dua persoalan yang terus ada dan menetap dalam masyarakat Indonesia dan menjadikan persoalan laten yang terus mengancam eksistensi kita sebagai bangsa. Masalah seksualitas dapat mengancam pluralitas rasial maupun kultural, sementara narkoba mengancam eksistensi umat manusia.narkoba dan seksualitas merupakan dua isu yang berbeda, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pun selalu berbeda dalam penangangan kedua hal diatas. Ironisnya, kebijakan seringkali dirumuskan bukan atas dasar untuk menyejahterahkan rakyat dan demi kemaslahatan bangsa dalam jangka panjang, tapi hanya demi kepentingan politik dan kekuasaan sesaat.
Dalam diskusi mengenai Narkoba yang dipaparkan oleh Ignatius Praptoharjo, Ph.D pada sesi pertama yang dilanjutkan dengan sesi kedua mengenai Seksualitas oleh Dewi Candraningrum Ph.D , kita lihat bahwa kuasa tak terelakkan menduduki posisi sentral dalam pembahasan. Kuasa dalam hal ini tidak terbatas pada praktik politik formal yang didominasi oleh para elit dan politikus, namun juga operasionalisasinya dalam kehidupan sehari hari kita. Kuasa bekerja tak hanya di kantor kantor pemerintah, ruang -ruang rapat di Gedung DPR/MPR, diskusi politikus dan para pengamat di stasiun-stasiun TV, tetapi juga di tempat tempat lain seperti klinik methadone, rumah sakit, klinik bersalin, lokalisasi, dll.
Dalam diskusi mengenai seksualitas, Dewi Candraningrum memaparkan bahwa grand narrative (narasi agung/adiluhung) Negara mengenai Ibuisme , secara ironis,didirikan diatas ketertundukan para perempuan. Tak didapat dielakan lagi, ketertundukan tersebut adalah hasil dari serangkaian proses pendisiplinan dan kepengaturan yang dilakukan oleh penguasa. Ibuisme yang didirikan diatas ketertundukan perempuan, dalam hal ini hadir sebagai rezim nilai (regime of value) yang tak dapat dipungkiri lagi menjadi acuan moralitas kita, begitu hegemonic sehingga menjadi sebuah kelaziman yang jarang dipertanyakan kembali. Ibuisme, dalam hal ini kesuburan reproduktif dan kepatuhan.
Patuh dan subur adalah kemuliaan. Mereka yang “gagal” menyematkan kedua atribut tersebut,(mandul dan liar), rentan terjerembab pada kehinaan. Ia menjadi objek penderita dari “nasihat”dalam acara-acara keluarga, masuk ke pusat-pusat rehabilitasi, dan tak terelakkan lagi eksklusi sosial dan pada akhirnya violence. HIV AIDS di Indonesia juga lekat dengan kecurigaan pada mereka yang diidentifikasi sebagai pihak yang terbelakang secara moral (terkait dengan perilaku seksual) dan juga pendidikan. Politics of exclusion melatarbelakangi penanganan HIV AIDS di Indonesia dan penjelasan atas keterpurukan masyarakat Papua pada masalah HIV AIDS sangat terkait erat dengan persoalan kelas. Menurut Hilmar Farid, persoalan HIV AIDS ini pertama-tama harus dilihat sebagai persoalan medis. Campur baur kepentingan politik dan moral justru mengaburkan masalah dan kemudian yang terjadi adalah pembiaran.
Hal yang serupa juga terjadi pada para pengguna narkoba yang dalam hal ini terjerembab dalam lembah nestapa karena dianggap gagal dalam pemenuhan atribut moral yang mapan yakni bertubuh sehat dan produktif. Dalam narasi besar lainnya, para pengguna narkoba direpresentasikan jauh dari nilai- nilai keramat karakter bangsa. Serangkaian upaya pun dilakukan melalui proyek kepengaturan dan pendisiplinan, mulai dari rehabilitasi harm reduction dan kriminalisasi dengan ancaman penjara hingga hukuman mati.
Dalam pembahasan mengenai kehidupan para pengguna narkoba, kita mendapati bahwa nilai-nilai dalam kebudayaan yang seringkali menjadi ‘makanan’ para ahli antropologi, bukanlah entitas yang abstrak dan mengawang-awangyang tidak berkenaan dengan realitas empiric konkrit. Nilai-nilai well being (menjadi anak yang baik, orang tua yang baik, suami yang baik dan seterusnya), selalu terkait dengan struktur relasi produksi mana kita terlibat yang turut serta memberi kontur pada regime of value yang kemudian berlaku.
Pada masyarakat kita misalnya, konsepsi mengenai arah lintasan hidup yang mapan (yang terinspirasi dari nilai-nilai khas masyarakat industrialist) adalah “seorang anak diharapkan mengenyam pendidikan yang baik (bersekolah setinggi-tingginya) agar kemudian dapat terserap dalam pasar tenaga kerja, memperoleh stabilitas dan keamanan finansial (gaji rutin berikut pension), menikah, bereproduksi (berketurunan), lalu menikmati hari tua dengan dana pensiun sebagai buah dari partisipasi di dalam pasar tenaga kerja (HUMAS-FISIP UI).