Said Romadlan berhasil mendapatkan gelar Doktor Ilmu Komunikasi dengan predikat sangat memuaskan, setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Diskrusus Gerakan Radikalisme dalam Organisasi Islam (Studi Hermeneutika Pada Organisasi Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama Tentang Dasar Negara, Jihad dan Toleransi), dihadapan para penguji pada Senin (27/7) di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI.
Bagi organisasi Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) Pancasila adalah pilihan final dan terbaik karena Pancasila merupakan hasil perjanjian seluruh elemen bangsa. Dalam pemahaman Muhammadiyah, Pancasila adalah darul ahdi wa syahadah (Negara Konsensus dan Kesaksian). Sedangkan NU memahami Pancasila sebagai mu’ahadah wathaniyah (Kesepakatan Kebangsaan). Peneguhan sikap Muhammadiyah dan NU mengenai Pancasila tersebut sekaligus menjadi kritik dan perlawanan atas upaya-upaya kelompok tertentu untuk mengganti dan mengubah Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Pemahaman dan sikap Muhammadiyah dan NU atas Pancasila sebagai pilihan terbaik dan final merupakan hasil penafsiran ayat al-Qur’an dan refleksi kedua organisasi Islam terbesar Indonesia tersebut atas Pancasila. Muhammadiyah merujuk pada al-Qur’an Surat Saba’ ayat 15 “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”, yang artinya: “sebuah negeri yang baik dan berada dalam ampunan Allah Swt”. Kalimat tersebut oleh Muhammadiyah ditafsirkan sebagai Negara Pancasila. Sedangkan NU mengacu pada al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 30: “khalifah fil ardhi”, “khalifah” ditafsirkan NU sebagai melaksanakan amanat Allah melalui NKRI dan Pancasila.
“Pancasila sebagai pilihan terbaik dalam pandangan Muhammadiyah dan NU bukanlah pandangan politik yang didasarkan atas kepentingan pragmatis dan jangka pendek. Pandangan kedua organisasi Islam moderat ini dihasilkan melalui proses refleksi dan dialektika keduanya atas sejarah lahirnya Pancasila di mana tokoh-tokoh Muhammadiyah dan NU terlibat langsung dalam proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara. Selain itu, secara kontekstual peneguhan sikap Muhammadiyah dan NU atas Pancasila juga merupakan perlawanan kedua organisasi Islam ini terhadap upaya-upaya kelompok-kelompok tertentu yang hendak mengganti dan mengubah Pancasila”, jelas Said Romadlan, yang juga dosen Ilmu Komunikasi UHAMKA ini.
Selain meneguhkan pandangan dan sikap tentang Pancasila sebagai pilihan terbaik dan final, dalam disertasi yang berjudul “Diskursus Gerakan Radikalisme dalam Organisasi Islam (Studi Hermeneutika pada Organisasi Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tentang Dasar Negara, Jihad, dan Toleransi)” juga menegaskan pandangan Muhammadiyah dan NU mengenai jihad dan toleransi terhadap non-muslim. Dalam pandangan Muhammadiyah dan NU jihad bukanlah diwujudkan dalam bentuk kekerasan, apalagi terorisme. Bagi Muhammadiyah jihad adalah jihad lil-muwajahah, yakni bersungguh-sungguh menciptakan sesuatu yang unggul dan kompetitif. Sedangkan bagi NU jihad adalah sebagai mabadi’ khaira ummah, yaitu bersungguh-sungguh mengutamakan kemaslahatan umat.
Mengenai toleransi terhadap non-muslim, Said Romadlan menjelaskan, “Muhammadiyah dan NU sejak awal dikenal sebagai organisasi Islam yang toleran terhadap non-muslim. Bagi Muhammadiyah toleransi terhadap non-muslim sebagai ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan), sedangkan bagi NU adalah sebagai ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan)”.
Dalam promosi doktor yang dilaksanakan secara daring (online) ini merekomendasikan pentingnya peran Muhammadiyah dan NU sebagai kekuatan civil Islam untuk melakukan gerakan penyadaran dan perlawanan terhadap gerakan radikalisme yang dianggap antidemokrasi dan menyimpang dari ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin. “Salah satu bentuk penyadaran dan perlawanan terhadap gerakan radikalisme adalah dengan terus menciptakan narasi-narasi sebagai kontra-diskursus atas pemahaman kelompok-kelompok Islam radikal mengenai isu-isu radikalisme yang selama ini dominan dan dianggap benar adanya, yang disuarakan melalui media-media resmi organisasi, lembaga pendidikan, dan pengajian-pengajian, jelas Said.